google.com, pub-6935017799501206, DIRECT, f08c47fec0942fa0 GANODERMA, ANCAMAN DAN POTENSI PENGENDALIAN - PLANTER AND FORESTER

GANODERMA, ANCAMAN DAN POTENSI PENGENDALIAN

PENDAHULUAN
Ganoderma
             Hutan merupakan sektor pembangunan nasional yang amat vital karena hutan rnerupakan sumberdaya ekonomi yang berupa kayu dan venir kayu, seperti rotan, getah, bahan perekat, madu, gaharu, pangan, obat-obatan serta merupakan sumber pendapatan bagi penduduk di sekitarnya. Hutan juga mempunyai fungsi ekologi sebagai penyangga kehidupan antara lain fungsi hidrologi, sebagai penyimpan keanekaragaman hayati, pengatur kesuburan tanah dan iklim, serta penyimpan (sink) karbon (Soemarwoto, 2001). Karena itu keberhasilan pembangunan kehutanan akan sangat menentukan keberlanjutan pemban.gunan nasional di Indonesia.
             
Untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bahan baku pulp dan kertas serta kayu pertukangan yang terus meningkat, sejak awal tahun 1990an dikembangkan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan menerapkan system silvikultur intensif (Iskandar et al., 2003) yang luasnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2006, realisasi pembangunan HTI mencapai 2,5 juta ha, meningkat menjadi 4919,290 ha pada tahun 20ll (Anonim, 2011). Diperkirakan luas HTI pada tahun 2014 dapat mencapai 9 juta ha. Agar kayu yang dihasilkan dapat memenuhi tuntutan industri baik dalam jumlah maupun kualitas, HTI dikembangkan dengan menanam jenis jenis tanaman yang cepat tumbuh, baik jenis lokal maupun eksotik, umumnya dengan sistem monokultur. Adapun jenis jenis tanaman yang umum dikembangkan dalam HTI antara lain ialah Acacia sp., Eucalyptus sp., Pinus sp., dan Tectona grandis (Nawir eI a|.,2008).
Berdasarkan kebijakan pembangunan kehutanan jangka panjang, HTI dikembangkan untuk mengoptimalkan kembali fungsi hutan yang sudah tidak produktif (meliputi lahan tandus bekas hutan tebangan, rimba karet, hutan-hutan bakau, beberapa kepemilikan karet skala kecil, perkebunan sawit, padang rumput, dan lainlain) dengan tujuan utama untuk menghasilkan kayu (sebagai bahan baku pulp dan paper). Pengembangan HTI telah mampu menarik banyak investor swasta (pengusaha) karena menjanjikan keuntungan (benefit) ekonomi yang tinggi, sehingga peran pemerintah hanya sebagai regulator (Anjani, 2009).
Untuk mengembangkan HTI yang memberikan manfaat secara ekonomi sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan hidup, pengelola HTI seyogyanya memperhatikan kemungkinan adanya gangguan baik yang bersifat biotik maupun abiotik, seperti yang sering terjadi pada usaha perkebunan. Salah satu gangguan yang saat ini telah berpotensi mengancam keberlanjutan HTI adalah penyakit busuk akar (root rot) yang disebabkan oleh jamur Ganodermo sp
Perlu dicatat bahwa Ganoderma merupakan ciptaan Tuhan yang dapat menjadi lawan dan kawan dalam kehidupan manusia. Sebagai penyebab penyakit (patogen) tumbuhan,  Ganoderma merupakan faktor pembatas dalam budidaya berbagai komoditas penting. Meskipun demikian banyak spesies dari jamur ini yang terbukti berperan sebagai bahan obat-obatan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Dalam sejarah Ilmu Penyakit Tumbuhan, Ganoderma telah berulang kali menimbulkan kerugian yang amat besar dan merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan budidaya tanaman keras baik yang diusahakan dalam bentuk perkebunan maupun HTI (Semangun, 2001; Mohd e/ ol., 2006). Memang tidak mudah untuk mengukur besarnya kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma. Menurut Golani (2006), penyakit ini menimbulkan banyak kematian pohon (3,2 sampai 40 %) di Negara-negara Asia Tenggara dan India. Di Malaysia, Ganoderma sp. Menjadi penyebab utama penyakit akar merah dan mengakibatkan kerusakan sebesar 40 %a pada pertanaman A. mangium umur tiga tahun (Lee, 1996). Irianto et al. (2006) mengungkapkan bahwa infeksi Ganoderma pada pengamatan tahun pertama menyebar secara acak, tetapi pada pengamatan kedua cenderung meluas dan merata. Ploetz (2003) menyebutkan bahwa G.philippi menyerang pohon buah-buahan yaitu alpukat dan manggis.
Salah satu ciri penyakit akar pada tanaman keras (pohon) adalah penyebarannnya yang lambat tetapi inokulum potensialnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Karena itu luas dan intensitas penyakit umumnya terus meningkat seiring dengan siklus rotasi tanaman. Di Sumatera, Ganoderma mengakibatkan kematian A. mangium umur enam bulan pada areal bekas tebangan hutan alam (Lee, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa penyiapan lahan untuk HTI masih belum dapat menekan sumber penular (inokulum) awal yang berasal dari vegetasi sebelumnya yang secara alami telah mengandung inokulum Ganoderma. Pada penanaman rotasi kedua (dan seterusnya), Ganoderma menimbulkan kerugian yang lebih besar karena patogen yang bertahan hidup pada sisa-sisa akar dan tunggul dari pohon generasi pertama, segera akan mendapatkan inang pohon yang baru ditanam (Yuan et a1.,2000).

BIOLOGI GANODERMA
Menurut Alexopoulos et al. (1996), Ganoderma sp. termasuk dalam
Divisi                    : Eumycota,
Subdivisi             : Basidiomycefes,
Ordo                     : Polyporales
Family                  : Polyporaceae,
Genus                   : Ganoderma,
Spesies                : Ganoderma sp.
Jamur mempunyai basidium yang mengandung basidiospora. Basidium dibentuk pada dinding lubang Qtorus), tetapi sulit ditemukan terutama pada tubuh buah yang tua. Basidium pendek, berbentuk gada, tidak berwama, berukuran 20 x 7 pm, dan mempunyai 4 sterigma yang runcing. Basidiospora tidak dapat menginfeksi tanaman yang sehat tetapi dapat menginfeksi tonggak tanaman sehingga dapat menjadi sumber inieksi baru (Semangun, 2000).
Menurut Ratnaningtyas, 2007 basidiospora yang berkecambah dan basidiopsoranya jatuh pada bagian tanaman, kemudian mendapat kelembabapan, maka basidiospora berkecambah membentuk miselium. Miselium inilah yang berperan sebagai penular penyakit. Jamur patogen akan menghabiskan persediaan makanan dengan lambat dan dapat membentuk rhizomorf. Penularan terjadi setelah terdapat kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman yang terinfeksi. Saat terjadi kontak, diduga miselia akan mempenetrasi akar tanaman sehat, selanjutnya rhizomorf tumbuh di permukaan akar dan bagian pangkal batang tanaman. Pada tahap ini telah terjadi proses infeksi tingkat lanjut oleh Ganodermo sp. pada tanaman. Tubuh buah Ganoderma sp. terbentuk pada pangkal batang tanaman yang mengalarni serangan lanjut. Bentuk dan warna tubuh buah bervariasi. Dengan sifatnya yang saprofit fakultatif (Semangun,2000), penyakit busuk akar merah sangat potensial menyerang pertanaman yang sebelumnya merupakan daerah bekas tebangan hutan (Agrios, 2005). Semakin banyak sumber inokulum maka semakin cepat jamur busuk akar merah berkembang untuk menyebabkan penyakit. Patogen penyebab penyakit ini mempunyai kisaran inang yang luas.
Jenis Ganoderma dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok dengan permukaan atas tubuh buah tidak mengkilap terbentuk dari jalinan hifa (misalnya Ganoderma philippii, Ganoderma australe) dan kelompok lainnya sebagian besar bertangkai dengan permukaan atas yang mengkilap seperti dipernis, yang disusun oleh jaringan tiang pada bagian akhir hifa (misalnya: Ganoderma cupreum, Ganoderma steyaerta). Jenis-jenis Ganoderma sangat bervariasi dan sulit dibedakan menjadi kelompok yang jelas menggunakan struktur morfologi yang sederhana. Jenis-jenis Ganoderma sangat bervariasi dan sulit dibedakan menjadi kelompok yang jelas menggunakan struktur morfologi yang sederhana. Beberapa spesies dalam kedua kelompok mudah dipahami dengan baik, sedangkan beberapa jenis lain masih belum dapat dipahami dan banyak bentuk Laccate (permukaan halus seperti dipemis) yang mungkin dapat menjadi petunjuk sinonimnya dengan kelompok lain.
Beberapa jenis Ganoderma adalah saprofit, menyebabkan busuk hati pada tanaman yang masih hidup dan membusukkan kalu-kayu yang telah roboh (misalnya Ganoderma oustrale dan Ganoderma cupreum), sedangkan jenis lainnya merupakan parasit yang berbahaya (misalnya Ganoderma philippii, Ganoderma steyaertanum, dar, Ganoderma lucidum) (Hood, 2006).

EKOLOGI HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Penyakit yang disebabkan oleh Ganoderma pada semua jenis inang dan pada semua ekosistem, mengikuti kaidah segitiga penyakit (diseases triangle) yang mengatakan bahwa penyakit tumbuhan hanya dapat terjadi apabila ada patogen yang virulen bertemu dengan tanaman inang yang peka pada kondisi lingkungan yang mendukung (Agrios, 2005). Karena itu pemahaman tentang ciri lingkungan HTI, merupakan salah satu dasar yang amat penting untuk dapat merancang pengendalian penyakit Ganoderma secara aman, efektif dan efisien.
Dasar lain yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan penyakit tersebut adalah hukum keanekaragaman ekosistem yang mengatakan bahwa makin beranekaragam spesies (atau campuran spesies yang sama tetapi mempunyai gen resistensi terhadap patogen yang berbeda terhadap suatu patogen) tumbuhan dan hewan terdapat dalam suatu sistem, maka sistem tersebut makin stabil (mantap). Kemantapan sistem tersebut ditandai dengan hampir tidak adanya goncangan-goncangan yang besar antara populasi-populasi yang berinteraksi. Dengan hukum tersebut mudah dipahami bahwa dalam ekosistem alam di daerah tropika, lebih-lebih yang telah mencapai klimaks, tidak pernah terjadi kerusakan kerusakan yang berarti oleh hama dan penyakit tumbuhan (Oka, 1976).
Ditinjau dari ilmu Penyakit Tumbuhan, kebanyakan hutan alam mempunyai sifat-sifat umum yang dimiliki oleh ekosistem alam, seperti danau dan laut yang karena strukturnya Sangay kompleks, umumnya bersifat stabil. Sifat-sifat ekologinya mirip dengan kebanyakan agoekosistem tradisional, yaitu:
(1) mempunyai jumlah spesies yang banyak;
(2) mernpunyai diversitas yang tinggi dalam struktur;
(3) mempunyai lingkungan mikro yang bervariasi;
(4) mempunyai siklus materi yang pendek dan efektif;
(5) terjadi interdependensi biologi, sehingga mempunyai cara penekanan hama dan penyakit secara alami;
(6) sanggup berdiri sediri dalam arti tidak memerlukan campur tangan dalam berbagai bentuk;
(7) yang dominan adalah varitas, tanaman liar atau hewan lokal (Alteri,2004).
Dalam ekosistern alam keadaannya stabil, tetapi dinamis, dalam arti suatu organisme boleh dikatakan tidak dapat berkembang dengan leluasa, sebab selalu dihalangi oleh faktor-faktor yang melawannya. Demikian pula interaksi antara inang dan patogen berada dalam keseimbangan yang dinamis, sehingga tidak pernah terjadi ledakan penyakit (oka, 1979).
Ciri vegetasi hutan alam yang telah mencapai klimaks juga sangat mendukung terjadinya keseimbangan yang dinamis interaksi antara patogen dan inang. Di dalam hutan, vegetasi merupakan produk dari proses yang panjang melalui seleksi alami terhadap iklim, tanah, dan berbagai hubungan interaksi biotis. Vegetasi tersebut adalah spesies-spesies yang daya adaptasinya paling berhasil terhadap lingkungan biotis maupun abiotis (Oka, 1979).
Salah satu sifat ekosistem modern, termasuk HTI, adalah "kesederhanaan" komponen vegetasinya sedemikian jauh sehingga dalam satu areal yang luas dapat ditanam satu sepesies atau jenis tanaman (monokultur). Penelitian masih harus dilakukan untuk mengetahui pengaruh kesederhanaan vegetasi terhadap kemungkinan timbulnya strain-strain/biotipe patogen baru pada HTI. Dalam budidaya pertanian, monokultur sudah berulang kali memicu timbulnya strainstrain baru dari patogen dan hama hingga menghancurkan tanaman tersebut.
Ciri lain dari ekosistem modern adalah menurunnya keanekaragaman hayati dalam ekosistem tersebut. Salah satu penyebabnya adalah penyiapan lahan dengan cara yang sangat merusak sehingga terjadi perusakan habitat organisme yang hidup dalam ekosistem tersebut.
Contohnya adalah penyiapan lahan dengan cara pembakaran (Soemarwoto, 2004). Dalam pandangan Ilmu Penyakit Tumbuhan, menurunnya keanekaragaman hayati akan beresiko makin besarnya kemungkinan terj adi epidemi penyakit.

FAKTOR- TAKTOR YANG MEMPENGARUHI GANODERMA SECARA UMUM
Ganoderma sp. bersifat kosmopolitan, artinya dapat menyerang banyak tumbuhan berkayu dengan distribusi yang luas pula. Selain daerah tropika, jamur ini juga ditemukan di daerah yang mempunyai empat musim, seperti Eropa dan Amerika Utara. Secara umum, Ganoderma sp. tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki kelembaban tinggi dengan Ph tanah berkisar 6,0 - 7,0 (Semangun, 2001). Penyebaran jamur ke pohon yang sehat di dekatnya terjadi melalui kontak langsung antara akar sehat dengan akar yang sakit (Mohd et a1.,2006).
Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada perkembangan Ganoderma sp. adalah potensi sumber inokulum (Lee, 1996), patogenitas jamur penyebab busuk akar serta kerentanan tanaman inang (Darmono, 1998). Semangun (2000) menjelaskan bahwa jamur penyebab busuk akar menular setidaknya melalui dua cara. Cara pertama adalah kontak akar tanaman yang sehat dengan tanaman yang sakit atau mati. Jamur patogen akan menghabiskan persediaan makanan dengan lambat dan dapat membentuk rhizomorf, meski tidak dapat bertahan hidup apabila terlepas dari alas makanannya. Cara kedua adalah penyebaran spora yang dibantu oleh angin atau air.

PENGENDALIAN GANODERMA
Pada tahun 1970-an para pakar Ilmu Penyakit Tumbuhan mulai dikenalkan konsep pengendalian penyakit secara integrasi (Oka, 1976,1979) dengan paradigma bahwa pendekatan secara ad-hoc misalnya hanya menggunakan pestisida saja, untuk mencegah/memberantas suatu hama/penyakit kurang tepat, sebab kurang mendekati kenyataan hidup yang kompleks sekali dari sistem interaksi tanaman inang-hama/penyakit dan lingkungannya. Cara ini sering sekali menimbulkan dampak lingkungan yang tidak kita inginkan dan sangat merugikan bagi berfungsinya keseimbangan sistem hidup. Pendekatan ad hocjuga sangat bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang sekarang menjadi paradigma bagi pembangunan di semua sektor. Paradigma tersebut berlaku juga dalam pemecahan masalah Ganoderma pada semua komoditas, termasuk pada HTI.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka diharapkan agar dalam memecahkan masalah hama dan penyakit tumbuhan, menerapkan konsep 'pest management' atau sering disebut juga sebagai pengendalian hama terpadu (PHT). Salah satu definisinya adalah pengurangan persoalan hama/penyakit dengan tindakan-tindakan tertentu setelah sistem hidup hama dan penyakit tersebut diketahui dan akibat-akibat ekologisnya dan ekonomis dari tindakantindakan tersebut dapat diramalkan setepat-tepatnya untuk kepentingan manusia. Keharusan menggunakan PHT dalam memecahkan masalah hama dan penyakit tumbuhan telah merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang pada ayat (1) Pasal 20 menyebutkan bahwa "Perlindungan Tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Terpadu". Lebih jauh pada ayat (1) Pasal 22 disebatkan bahwa "Dalam melaksanakan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan sarana danlatau cara yang yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup.
PHT menghadapi berbagai hama dan penyakit yang penting sebagai satu keseluruhan. Cara ini mempunyai apa yang disebut dengan "total population approach" atau "holistic approach", dan harus berlandaskan pada dasar dasar ekologis dan ekonomis yang kuat (Semangun, 1975). Konsep PHT seiring sejalan dengan konsep eko-efisiensi yang dikenalkan oleh PBB pada KTT Bumi di Rio de Janeiro dalam tahun 1992. Eko-efisiensi adalah manajemen bisnis yang mempersatukan antara efisensi ekonomi dan ekologi. Dalam usaha pertanian konsep eko-efisiensi dapat dijabarkan sebagai menggunakan fungsi ekologi alam atau lingkungan sebagai masukan dalam proses produksi sehingga dapat mengurangi biaya produksi (Soemarwoto, 1996).
Penerapan konsep PHT pada beberapa sistem budidaya sudah memberikan hasil yang memuaskan dan sebagian lagi masih jauh dari memuaskan. Inti permasalahannya ialah bahwa pengendalian hama dan.penyakit yang berwawasan lingkungan dianggap memerlukan biaya tambahan tanpa memberikan keuntungan ekononomi yang nyat1. Karena itu walaupun kesadaran akan pentingnya penerapan konsep PHT telah meluas, baih di kalangan pemerintah maupun masyarakat, namun dalam kenyataannya dalam proses produksi, PHT masih belum banyak dilakukan.
Syarat untuk dapat diterapkannya konsep PHT dengan baik ialah bahwa pengendalian itu harus dirancang pada seluruh proses, sejak tahap pembukaan lahan sampai akhir siklus produksi.  Dalam praktek keberhasilan PHT bertumpu pada pemakaian kombinasi yang terbaik antara cara cara budidaya, hayati, kimiawi, fisik, dengan tujuan untuk menekan populasi hama atau penyakit di bawah ambang yang merugikan. Apabila salah satu usaha pengendalian bertentangan dengan perlakukan lain yang berguna, seperti misalnya pemeliharaan tanaman, maka dengan mengingat hasil yang paling menguntungkan keseluruhannya, hendaknya dicari kompromi, agar diperoleh hasil yang paling menguntungkan (Triharso, 1978).
Sambil menunggu hasil penelitian yang komphrehensif yang ditujukan khusus untuk HTI, kiranya beberapa hasil penelitian pengendalian penyakit tersebut pada komoditas lain, dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan dalam usaha m€ngurangi kerugian akibat Ganodermo pada HTI. Memang harus dicatat bahwa karena perbedaan dalam beberapa hal antara pertanian dan HTI, tidak semua konsep pengendalian penyakit pada tanaman pertanian dapat diterapkan pada HTI. Secara umum, usaha pengendalian penyakit tanaman pertanian dapat dilakukan dengan pendekatan matematik (Triharso, 1978) yang dalam pralsek dilakukan dengan hal hal sebagai berikut:
a. Mengurangi sumber penular mula mula (inokulum awal);
b. Mengurangi laju infeksi dengan menanam jenis yang tahan dan pemakaian pestisida;
c. Mengurangi waktu lamanya terjadi infeksi dengan menggunakan varietas yang
genjah atau masak awal; dan
d. Mengurangi sumber penular mula mula, laju infeksi dan waktu lamanya terjadi infeksi dengan jalan menanam jenis toleran.
Salah satu penyakit karena Ganoderma yang pengendaliannya telah diteliti secara intensif adalah penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit. Penyakit tersebut dapat dikendalikan dengan baik dengan jalan membersihkan sumber infeksi sebelum penanaman dan mencegah penularan penyakit dalam kebun. Belajar dari perkebunan karet, pengendalian penyakit tersebut dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa tindakan sebagai berikut:
a. Pada saat melakukan pembukaan tanah atau peremajaan semua tunggul dan sisa-sisa akar yang terserang patogen harus dibersihkan;
b. Pohon pohon yang sakit atau mati dibongkar;
c. Mencegah meluasnya penyakit dengan selokan isolasi
d. Pohon pohon yang sakit yang masih dapat ditolong dengan fungisida
e. Perbaikan drainage tanah (Semangun,2001)

Sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlunya pengendalian penyakit yang berwawasan lingkungan, akhir-akhir ini banyak dikembangkan teknik pengendalian hayati, antara lain dengan memanfaatkan jamur Trichoderma spp. yang diketahui mempunyai kemampuan antagonistik terhadap jamur lain.
Trichoderma spp. disebut sebagai jamur antagonis, karena jamur ini mampu menghasilkan enzim dan senyawa kimia lainnya yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen, bahkan dapat mematikannya. Selain itu, Trichoderma spp. mampu menghambat patogen tular tanah penyebab busuk akar (Mukerji dan Garg, 1966). Menurut Cook dan Baker (1989), pengendalian hayati memiliki beberapa keuntungan, di antaranya:
 (1) tidak menimbulkan efek ketahanan terhadap patogen,
(2) dapat menciptakan keseimbangan biologis,
(3) tidak mencemari lingkungan, serta
(4) apabila sekali aplikasi berhasil, maka dapat memiliki efek pengendalian yang relatif lama.   
Menurut Hjeljord dan Tronsmo (1998), terdapat tiga jenis interaksi dalam hubungan antagonis, yaitu kompetisi, antibiosis, dan mikoparasit. Kompetisi merupakan interaksi dua organisme untuk mendapatkan hal yang sama, seperti zat makanan atau ruang hidup. Kompetisi merupakan aspek penting dari pengendalian biologi yang terjadi bila dua mikroorganisme atau lebih memerlukan faktor yang terbatas dari sumber yang sama. Hal tersebut dapat membatasi masuknya mikroorganisme yang lain. Antibiosis merupakan kemampuan memproduksi berbagai senyawa antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan patogen. Mikoparasit merupakan bentuk interaksi antara jamur patogen dan jamur antagonis. Mikoparasit dapat bersifat biotrop dan nekrotrop. Jamur antagonis dikatakan bersifat biotrop apabila hanya rnenghambat dan tidak akan membunuh jamur patogen, sedangkan jamur antagonis dikatakan bersifat nekrotrop apabila dapat membunuh jamur pathogen dalam rentang waktu tertentu seteiah terjadi kontak. Trichoderm4 sp. mempunyai beberapa keunggulan untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati (Hjeljord dan Tronsmo, 1998) yaitu
(l) sebagai organisme hidup yang bersifat dinamis, sehingga mampu bereaksi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada habitatnya,
(2) sebagai saprofit yang cepat pertumbuhannya, Trichoderma sp. secara ekologi akan mampu bersaing dalam waktu lama dengan mikroorganisme lain dalam tanah,
(3) sebagai mikoparasit yang aktif dapat menyerang patogen yang sudah berada pada suatu habitat (indigenous patogen) maupun yang datang kemudian (introduced patogen).
Sebagai pengendali hayati Trichodermd spp" terbukti secara in vitro mampu menghambat jamur akar putih (Rigidoporus microporus) dan jamur akar merah (Ganoderma sp.) pada Acacia spp. (Widyastuti et al., 1998a; ). Di samping itu Trichoderma spp. juga diketahui memiliki kemampuan meningkatkan pertumbuhan tanaman sebagai plant growt promotion agent (Lindsay dan Baker, 1967; Sumardi et a1.,2001).
Karthikeyan et al, (2009) menyampaikan bahwa saat ini sudah dilakukan deteksi penyakit Ganoderma dengan menggunakan PCR dan ELISA pada perkebunan kelapa sawit. Dari percobaan  tersebut dapat diketahui Trichoderma viride ditambah Pseudomonas fluorescens dan kitin dapat mengurangi infeksi pada bulan keenam. Pengendalian penyakit terpadu dan penambahan tridemorph menunjukkan efek pada bulan ketujuh. Trichoderma harzianum ditambah Pseudomonas fluorescens apabila diaplikasikan pada kelapa sawit menunjukkan efek pada bulan kedelapan. Serta dengan perlakuan Trichoderma horzianum dan Pseudomonas fluorescens . Trichoderma viride pada palem pada bulan kedelapan. Dan Lelong et al., 2010 mengevaluasi kelayakan alat untuk mendeteksi kerusakan pada kebun kelapa sawit akibat serangan Ganoderma sudah mulai ditingkatkan.

                                               KESIMPULAN
MASALAH
Hutan alam kita saat ini terus mengalami kerusakan dan penyusutan luas yang bersifat kumulatif dan menunjukkan kecenderungan yang makin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Diperkirakan untuk setiap pertambahan penduduk lolo, luas hutan akan menyusut dengan 0,3% (Soemarwoto, 2001). Di sisi lain, penambahan jumlah penduduk akan diikuti peningkatan permintaan akan hasil hasil hutan. Karena itu pengembangan HTI yang produktif dan dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan, merupakan suatu keniscayaan.

TANTANGAN KE DEPAN
Menurut Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan, pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan merekao' Syarat untuk dapat terciptanya pembangunan berkelanjutan adalah bahwa pembangunan itu harus berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan yang memperhitungkan lingkungan sejak tahap perencanaan sampai pada tahap akhir dari suatu kegiatan (Soemarwoto, 1996).
Dewasa ini Hutan Tanaman Industri telah merupakan pilar penting sektor kehutanan dalam pembangunan berkelanjutan yang berbasiskan pada Pro-growth, Pro-poor, Pro-Job dan Pro-environment. Dalam upaya ini maka pengelolaan HTI harus menyeimbangkan kembali pilar-pilarnya sehingga tidak terfokus pada ekonomi saja namun juga sinergi dengan ekologi dan sosial.
HTI sebagai man made forest tentu akan menghasilkan hutan tidak klimaks. Dengan demikian keseimbangan sistem hutan yang terbangun juga merupakan keseimbangan versi kepentingan manusia bukah keseimbangan hutan dalam arti ekosistem. Atas dasar pertimbangan ini maka perlu dilengkapi paket ekosistem untuk penguatan keseimbangan HTI. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui hutan tanaman campur baik pada level stand atau dalam level yang lebih luas yaitu tingkat bentang alam.
Akselerasi pertanaman campur dapat dilakukan melalui pembangunan tegakan yang diperuntukkan untuk pengkayaan jenis. Skema pembangunan blok atau petak pengkayaan dalam HTI tidak hanya didasarkan pada pertimbangan pengkayaan diversitas pohon akan tetapi juga sekaligus menumbuhkembangkan habitat siap kembang untuk wildlife.
Pendekatan ini dapat juga dilakukan melalui pembaharuan skema tumpangsari dalam HTI sebagai usaha pengkayaan jejaring rantai makanan untuk musuh alami. Dalam skema ini maka sangat diperlukan penelitian yang bersifat integrasi dalam konteks membangun HTI yang tidak hanya prospektif dalam pertimbangan ekonomi tetapi juga sekaligus ekologi.
Prinsip-prinsip ekologi dalam pembangunan HTI dapat diterjemahkan dari konsep kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest (
HCYF). Konsep HCVF yang didisain dengan tujuan untuk membantu para pengelola hutan dalam usaha-usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dalam kegiatan produksi kayu dengan menggunakan pendekatan :
 1) mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan (UP) kayu yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis yang luar biasa penting, dan
2) menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin pemeliharaan dari/atau peningkatan nilai-nilai tersebut (TBI Indonesia,2008).
Pada perkembangan lain HTI juga sering dihadapkan dengan permasalahan masyarakat sekitar hutan yang berujung pada konflik berkepanjangan. Atas dasar pertimbangan permasalahan ekonomi, ekologi dan sosial dalam pengelolaan HTI maka penyelesaian yang sifatnya tunggal mulai diintegrasikan dalam unit manajemen yang lebih utuh. Perkembangan hutan di luar hutan (trees outside forest) yang dikembangkan dalam sistem agroforestri oleh masyarakat menjadi komponen penting untuk menjaga keseimbangan biodiversitas pada tingkat bentang alam. Kelemahan monokultur HTI dalam tingkat bentang alam yang terintegrasi dengan hutan diluar hutan dalam skema agroforestri menjadi inovasi pembaharuan pengelolaan HTI dimasa mendatang yang selaras dengan pilar pembangunan berkelanjutan yang Pro-growth, P ro-poor, P ro-Job dan P ro-erwironment.
Sebagai syarat agar tujuan pengembangan HTI dapat tercapai, dalam mengatasi segala kendala, termasuk dalam'memecahkan penyakit yang disebabkan oleh Ganoderma, kita harus mengedepankan cara-cara yang ramah lingkungan, yaitu dengan penerapan konsep PHT. Memang untuk dapat menerapkan PHT dalam HTI masih dijumpai banyak kesulitan kesulitan. Adanya ancaman serius oleh penyebab penyakit dan hama pada tanaman hutan merupakan hal yang relatif baru sehingga informasi tentang ekobiologi dari berbagai hama dan penyakit di HTI masih sangat kurang, sedangkan PHT harus berlandaskan pengetahuan ini. Di samping itu pengetahuan mengenai cara cara pengendalian untuk masing masing hama dan penyakit pada HTI masih belum lengkap, sehingga masih sulit untuk memilih kombinasi mana yang harus dipraktekkan. Memang harus diakui bahwa untuk dapat melaksanakan PHT di lingkungan HTI masih diperlukan banyak penelitian yang luas dan mendalam" Hal yang senada juga dialami oleh para pakar Ilmu Penyakit Tumbuhan pada arval mengenal konsep PHT (Semangun, 1975),  dalam hal ini perlunya para pemerhati perlindungan hutan Indonesia bekerjasama secara sinergis, untuk segera mengembangkan konsep PHT sebagai salah satu pilar pengelolaan HTI produktifdan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan generasi mendatang.


0 Response to "GANODERMA, ANCAMAN DAN POTENSI PENGENDALIAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel