google.com, pub-6935017799501206, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Kendala Ekspor Buah Indonesia dan Kerja Keras di Balik Ekspor - PLANTER AND FORESTER

Kendala Ekspor Buah Indonesia dan Kerja Keras di Balik Ekspor

Seri hari Buah Internasional
Kendala Ekspor Buah Indonesia dan  
Kerja Keras di Balik Ekspor

International Fruit Day, 1st July 2021.
Selama ini, kendala buah Indonesia jika akan diekspor sangat beragam.  Mulai dari kontinyuitas ketersediaan, kualitas buah, jarak dan jangka waktu pengiriman ke negara tujuan dan sebagainya.

Tulisan dari Dwi Bayu Radius yang dimuat di Kompas, 4 Juli 2021, sangat menggambarkan kendala serta kerja keras eksportir buah, mulai dari pengumpulan di tingkat petani hingga proses ekspor ke negara tujuan.   

Peluang yang besar untuk menyuplai komoditas hingga mancanegara membuka gerbang bagi perusahaan bermitra dengan petani. Di balik kilau pasar ekspor terbentang jalan berliku dengan kompleksitas regulasi dan etos kerja pembudidaya buah untuk memenuhi standar.



Buah Salak, Salacca edulis, Indonesia menjadi salah satu produsennya 

Gudang di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Yogyakarta,
itu terlihat modern dengan ban berjalan, mesin pengering, dan timbangan elektronik. 

Salak-salak ranum dibongkar dari truk, lalu disortir berdasarkan ukuran dan kualitasnya. ”Dipilih yang bagus. Kalau berjamur, busuk, atau lecet, tidak memenuhi standar,” kata Kepala Cabang Java Fresh Yogyakarta Khoirudin, Senin
(31/5/2021). 

Seleksi dilakukan demikian ketat lantaran salak-salak itu akan diekspor ke Belanda. Buah-buah itu diamati secara bergilir dan diraba oleh tujuh pekerja yang mengenakan masker. Mereka dengan cekatan memeriksa tingkat kematangan, ukuran, dan bobot buah. ”Kami beli dari kelompok tani. Lubang kecil pun diperiksa, ditekan sedikit. Kalau mulai busuk, keluar cairan,” katanya.

Buah Salak, Snake Fruit, Salacca edulis, Indonesia menjadi salah satu produsennya 

Buah-buah yang sesuai standar dimasukkan ke dalam keranjang dengan isi seberat lebih kurang 8 kilogram (kg). Setelah diikat, keranjang itu dikirim untuk melewati karantina. ”Pakai truk berpendingin. Pengiriman rata-rata seminggu sekali sebanyak 3 kuintal,” ujarnya.

Semua salak berasal dari Kabupaten Sleman. Setiap salak diberi label agar saat dijual di toko-toko, asal buah itu bisa diketahui. ”Setelah ditempeli stiker, baru keranjang ditutup dan siap dikirim. Jenis salaknya pondoh super,” kata Khoirudin. 

Wakimin (50), petani di Desa Merdikorejo, gembira melihat terbukanya peluang ekspor meski aral melintang masih saja dihadapi. ”Lalat buah, misalnya, masih dirisaukan. Beberapa hari ini sempat banyak, lalu berkurang lagi. Bisa gawat kalau ditemukan telur lalat dalam buah. Bakal ditolak,” katanya.

Buah Salak, Salacca edulis, Indonesia menjadi salah satu produsennya 

Kendala lain, ukuran buah yang bervariasi sehingga tidak semua salak yang ia panen memenuhi keinginan pengekspor. Jika kuantitas salak Wakimin yang memenuhi standar ekspor sedang minimal, proporsi itu hanya sekitar
50 persen dari total setoran.

”Kalau maksimal, sekitar 75 persen, tapi sebenarnya saya masih kurang puas karena munculnya kendala-kendala itu,” ujarnya. Sekali panen, Wakimin menghasilkan total sekitar 2 ton salak pondoh super. Panen berlangsung dua
hingga tiga kali per tahun. Harga salak kualitas ekspor memotivasi Wakimin. Salak tersebut bisa dihargai hingga Rp 7.000 per kg. Jika dibeli pengepul, harganya hanya Rp 4.000 per kg. ”Ekspor sangat perlu dan dinanti karena meningkatkan harga,” kata petani yang sudah sekitar 30 tahun menanam salak itu.

Di Desa Kutadalom, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Syari-
fudin (62) mengaku masih kurang puas terhadap produksi kebunnya. ”Masih ada pisang reject (tak memenuhi standar) untuk diekspor. Ukurannya kecil atau banyak totol-totolnya. Jadi ditolak,” katanya. Ia mengaku lalai tak menginjeksi jantung pisang dengan cairan organik agar buah tak bebercak. Syarifudin menya-
dari jika ingin hasilnya optimal, perlu kerja keras. ”Setandan rata-rata terdiri dari delapan sisir. Kalau ditolak, biasanya dua atau tiga sisir di pucuk pohon yang tak memenuhi standar,” katanya.

Bila pisang tak sesuai mutu yang ditetapkan, ia mengolah nya menjadi selai, diberikan kepada tetangga, ataupun dikonsumsi sendiri. Syarifudin terus berupaya lebih giat. ”Kebun saya luasnya sekitar 1 hektar. Hasilnya sekitar 5 kuintal per minggu,” ujarnya.

Sekitar lima tahun lalu, ia mulai bermitra dengan PT Great Giant Pineapple (GGP)
untuk memasok pisang yang diekspor. Syarifudin tertarik karena harga pisang yang stabil. ”Kontraknya setiap tiga tahun. Dibantu dengan penyemprotan, bibit, dan pembinaan,” ujarnya.

Kualitas Beragam 
Pendiri dan Chief Executive Officer PT Nusantara Segar Global (NSG) Margareta Astaman menemukan kualitas produk petani yang beragam. ”Kalau belum atau baru menjalankan SOP (prosedur standar operasi) kebun, buah setoran petani yang memenuhi standar ekspor hanya 30-50 persen,” katanya.

Jika petani terus belajar dan mampu menerapkan standar tersebut, proporsi rata-ratanya menjadi 70-80 persen.

Persentase itu tergantung perawatan lahan. Komoditas yang diekspor NSG antara lain buah naga, manggis, salak, kelapa, jeruk purut, dan mangga ke 20 negara dengan pasar terbesar Eropa.

Perusahaan itu menyerap buah lewat kerja sama dengan petani teregistrasi, misalnya dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera Barat. ”Potensi ekspor sangat besar karena tren konsumsi buah eksotis di dunia
selalu meningkat. Buah-buahan itu termasuk yang diproduksi di Indonesia,” ujarnya.

Apalagi, buah-buahan tersebut rasanya lebih kuat, bahkan melimpah, seperti durian, alpukat, jambu, dan pepaya. Omzet ekspor NSG meningkat sekitar 10 persen pada tahun 2020 dibandingkan pada 2019.

Pada 2019, perusahaan tersebut mengekspor sekitar 1.000 ton buah. ”Kendalanya, metode pertanian umumnya masih konvensional.Mungkin karena Indonesia subur, biji yang dilempar di mana pun tumbuh,” ujarnya sambil tersenyum. Alhasil, perawatan tak optimal.

Produksi besar, tetapi kuantitas buah yang masuk kriteria ekspor sangat rendah.
Buah-buahan yang diminta tak sekadar baik, tetapi juga tersertifikasi. Sebagian besar perkebunan di Indonesia belum memenuhi sertifikasi negara-negara tujuan ekspor.

”Standar mutunya jelas. Rumah pengemasannya pun harus teregistrasi,” ucapnya.
Beberapa ketentuan perlu dipenuhi, seperti keamanan pangan berstandar internasional(Global GoodAgricultural Practices), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan Fair Trade. Standar lain ialah Sedex yang fokus terhadap interaksi eksportir dengan pekerja dan petani untuk menerapkan keadilan.
Ia menekankan market intelligence yang sangat diharapkan dari pemerintah, sekaligus pengenalan produk di negara tujuan ekspor. 

Karakteristik konsumen Eropa pun diketahui sehingga persaingan dapat diatasi dengan mengirimkan buah-buahan unik yang tak dipasok negara pesaing.
Dukungan karantina tak kalah penting karena banyak sekali peraturan soal buah-buahan agar petani dan eksportir bisa memenuhi standar. Margareta dan para koleganya turut membimbing petani menyediakan buah berkualitas ekspor. 

Mereka saling melengkapi dengan bimbingan teknis pemerintah. ”Eksportir harus ikut berperan. Kami kerap mendapat informasi mengenai perlakuan yang baik terhadap buah,” kata Margareta. Pegawai NSG dilatih menerapkan penanganan
itu dan bekerja sama dengan Badan Karantina Pertanian untuk menjalani sertifikasi.

Analisis tren
Atase Pertanian Kedutaan Besar RI di Washington, Amerika Serikat, Hari Edi Soekirno meminta mereka yang ingin mengekspor buah-buahannya cermat menganalisis tren.

”Perhatikan permintaan. Bukan hanya saya punya buah tertentu dan bagaimana supaya laku,” katanya.

Eksportir harus mencari informasi buah-buahan yang dibutuhkan Amerika Serikat.
Kesinambungan produksi pun harus dijaga. ”Pantau pula persyaratan teknis ekspor buah ke Amerika Serikat yang bisa diperoleh di Kementerian Perdagangan,” katanya.

Amerika Serikat mengimpor jeruk dari 88 negara. Impor jeruk pada tahun 2019,
misalnya, mencapai 762 juta dollar AS. Pada semester I 2020, nilai impornya sebesar 487 juta dollar AS, tetapi dari Indonesia hanya 30.169 dollar AS yang terdiri dari satsuma mandarin dan sitrun.

”Rabobank telah menyusun laporan ekspor buah-buahan keAmerika Serikat pada tahun 2006-2017, tetapi nilainya minimum 500 juta dollar AS,” katanya. Nilai ekspor dari Indonesia kurang dari jumlah itu sehingga tak tercantum dalam
laporan Rabobank.

Indonesia pun dianggap tak mengekspor buah-buahan karena kuantitasnya kurang dari 100.000 ton per tahun. Spanyol menempati peringkat pertama pengekspor buah segar terbesar di dunia, disusul Amerika Serika, Belanda, Chile, China, dan Meksiko.

”Negara-negara yang termasuk paling banyak mengekspor buah segar ke Amerika Serikat jaraknya masih dekat. Semua dari Amerika Latin,” katanya.

Sementara pengiriman buah-buahan dari Indonesia ke Amerika Serikat relatif lama, memakan waktu lebih dari sebulan dengan kapal laut.


Seorang pekerja menunjukkan salak yang telah ditempeli label dan akan diekspor ke Eropa, Senin (31/5/2021), di kantor Asosiasi  Petani Salak Sleman ”Prima Sembada” di Dusun Trumpon, Desa  Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ekspor salak itu merupakan hasil kerja sama petani Sleman dengan PT Nusantara Segar Global.


Sumber : Kompas, 4 juli 2021



0 Response to "Kendala Ekspor Buah Indonesia dan Kerja Keras di Balik Ekspor"

Post a Comment

Arsip Blog

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel